Kita mungkin sering membaca ayat Al-Qur’an yang berbunyi “afalaa tatafakkaruun” (tidakkah kalian berfikir?), disini kita diperintahkan untuk terus berfikir akan segala kekuasaan, kebesaran, keagungan Allah SWT, dan yang lebih penting lagi yaitu selalu ingat pada-Nya. Mengingat Allah SWT berarti kita telah ingat pada pusat segala kebaikan, kebaikan-kebaikan yang lain seperti ikhlas, tawadlu’, tawakal dan segala kebaikan lainnya akan secara otomatis mengikutinya. Kita ambil saja contoh saat kita dihadapkan pada suatu masalah dan kita ingat akan Allah SWT, pastinya kita berfikir bahwa segala sesuatu datang dari Allah SWT (apapun itu). Mampu atau tidak mampu kita mengatasinya, itupun karena Allah SWT. Bersyukur untuk kemampuan kita, dan kita kembalikan pada-Nya pula untuk ketidakmampuan kita. Dari sini bukankah kita (mungkin secara tanpa sadar) sudah melampaui keikhlasan? Bukankah tawakal juga sudah kita lakukan?
Mengingat Allah SWT, berarti kita juga merasakan keberadaan Allah SWT yang senantiasa mengawasi kita, dengan begitu kita juga terjauhkan dari segala keburukan-keburukan. Ibaratnya, bagaimana mungkin seorang pembantu mencuri sesuatu didepan tuannya.
Berfikir akan keagungan dan kebesaran-Nya, menjadikan kita kerdil dihadapan-Nya, berfikir akan kekuasaan-Nya, menjadikan kita lemah dihadapan-Nya, berfikir akan kemuliaan-Nya, menjadikan kita hina dihadapan-Nya. Jadi, jika kerendahan hati (tawadlu’) adalah guru dari para guru kebaikan (Jalaludin Al-Rumi), maka tafakur adalah guru dari kerendahan hati itu. Jika kerendahan hati adalah pintu yang tak terkunci untuk menuju pada kebaikan, maka tafakur ilallah adalah tangga menuju pintu itu. Dengan tafakur pula lah kita akan merasakan bahwa Allah SWT hadir dalam setiap gerak, hadir dalam setiap perkataan, hadir dalam segala pemikiran, dan hadir dalam diri kita.
Sekarang mari kita simak baik-baik, kita semua pastilah sudah tahu bahwa kita lahir karena cinta kita pada Allah SWT, jiwa (ruh) telah bersumpah untuk setia hanya pada-Nya, lantas masuklah jiwa itu kedalam jasad dan hiduplah kita. Bagaimana bisa kita tidak memikirkan-Nya? Ambil saja contoh sepasang dua sejoli yang saling mencintai, dengan adanya rasa cinta dalam diri mereka tidak akan mungkin jika tidak memikirkan orang yang dicintainya. Disetiap langkah selalu terlintas bayangan sang kekasih, bahkan segala pikiran telah terpenuhi oleh sang kekasih. Lantas bagaimana antara kita dengan Allah SWT yang sejatinya adalah kekasih yang sejati? Begitu mudahkah kita melupakan-Nya dalam setiap gerak dan pikiran kita?
Saturday, January 16, 2010
Home »
Renungan sufistik
» Tafakur, melampaui segala tahap kebaikan
0 komentar:
Post a Comment