Recent

Syeikh Abul Hasan Asy Syadzili : Tentang "Siksaan"

Siksaan itu terdiri dari empat macam : 1. Siksaan melalui adzab. 2. Siksaan melalui hijab. 3. Siksaan melalui pengekangan , dan 4. Siksaan ...

Gus Dur : Tentang tasawuf dan Wihdatul Wujud (Manunggaling kawula lan Gusti)

Di dalam sebuah buku, Alwi Shihab pernah memaparkan bahwa penyebaran Islam di Negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum Ulama pesantren.

Dari Mujahadah ke Muraqabah, sampailah pada Musyahadah

Mujahadah : Berjihad menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa untuk dekat kepada Allah Ta’ala. Muraqabah : Memperhatikan gerak-gerik hati,...

Kita sering merasa yakin, tahukah apa itu "Yakin"?

Dan diantara tanda-tanda Ulama’ Akhirat itu ialah sangat bersungguh-sungguh menguatkan keyakinan. Karena keyakinan itu adalah modal Agama....

Menjadi Manusia Yang Manusiawi

Maksud dari kalimat "Manusia yang manusiawi" adalah menjadi manusia yang baik dan benar, serta manusia yang benar dan baik.

Saturday, June 4, 2011

Gus Dur : Tentang tasawuf dan Wihdatul Wujud (Manunggaling kawula lan Gusti)


Di dalam sebuah buku, Alwi Shihab pernah memaparkan bahwa penyebaran Islam di Negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum Ulama pesantren. Mereka ini menggunakan tasawuf suni sebagai pegangan dalam penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad yang lalu. Dengan tasawuf tersebut, mereka melawan padangan kaum kebatinan, yang dalam budaya jawa dikenal dengan nama kejawen. Bukti sejarah atas penentangan mereka itu adalah kisah Syeikh Siti Jenar (Syeikh Lemah Abang) sebagai orang yang menyimpang dari tasawuf suni di atas, dan karena itu beliau di hukum mati oleh para Wali Sanga (Wali Sembilan). Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan/kejawen di negeri kita.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menolak anggapan ini (karena memang legenda hukuman mati atas tokoh tersebut dapat ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda-beda), Gus Dur mempunyai anggapan lain, yang tentu merupakan penafsiran beliau sendiri atas “kejadian” tersebut. Dengan mengetahui perbedaan pandangan itu, Gus Dur yakin kekayaan akan “Sejarah Pemikiran” di negeri ini semakin berkembang.

Gus Dur melihat kejadian itu dari sudut pandang yang berbeda. Jika Alwi Shihab menganggap para Ulama di negeri ini menentang kebatinan, berarti para Ulama itu juga menentang salah satu bentuk Wihdatul Wujud (Pantheisme, manungaling kawula lan Gusti), maka Gus Dur memiliki anggapan lain. Dalam pandangan Gus Dur, hukuman mati yang dijatuhkan para Wali Sanga atas Syeikh Siti Jenar, bukanlah karena beliau berpaham Wihdatul Wujud melainkan karena sebab lain. yaitu karena Beliau mengajarkan paham itu kepada orang banyak (yang kebanyakan masih awam).

Dalam pandangan Gus Dur, “dosa” Syeikh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau pada Wihdatul Wujud, melainkan “Sikap gegabah beliau dalam mengajarkan paham tersebut di kalangan orang banyak (yang banyak diantara mereka masih awam)”. Karena itulah, kaum penganjur tarekat (dikenal di sini sebagai kaum tasawuf, sufi) selalu menekankan pentingnya menjalankan syari’at sebelum ber-tasawuf.

Pandangan semacam ini dikenal di kalangan NU (Nahdlatul Ulama) dan kaum tradisionalis lain dengan ungkapan “Man yatakhaqq' wa lam yatasyarra’ fahuwa zindiqum (orang yang berpandangan hakikat dan tidak menjalankan syari’at, adalah orang yang sesat). Kesimpulan dari pandangan ini adalah anggapan para Ulama tradisionalis kita yang tidak menolak Wihdatul Wujud-nya Ibnu ‘Arabi, melainkan melarang penyebarannya di kalangan masyarakat yang masih awam.

Dari kesimpulan tersebut, Gus Dur beranggapan Ulama’ tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran Wihdatul Wujud bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syari’at, yang dalam hal ini berbentuk fiqih (Hukum Islam). Dengan kata lain, mereka menolak penyebaran Wihdatul Wujud tersebut di kalangan masyarakat awam, tetapi bagi kepentingan diri mereka sendiri, mereka juga menjalankan ajaran tersebut secara tertutup. Ajaran Wihdatul Wujud yang digunakan itu terutama adalah Wihdatul Syuhud (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi –dalam ajaran jawa dikenal dengan nama weruh sedurunge winarah-).

Dengan menggunakan pandangan ini, dapat dilihat bahwa kaum Ulama tradisionalis kita tidak menolak ajaran Wihdatul Wujud itu, melainkan dilarang penyebarannya secara gegabah. Jadi dengan demikian, antara kaum syara’ dan kaum kebatinan memang berbeda tetapi tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak ada pertentangan prinsipal antara kaum Wihdatul Wujud dan kaum syari’at yang menggunakan referensi fiqih. Ini semua, tentu membawa konsekuensi-konsekuensi bagi pengembangan tradisi demokratisasi di negeri kita.

Referensi : Buku "Gus Dur menjawab kegelisahan rakyat"