Recent

Wednesday, January 13, 2010

Islam bukan ajaran yang "Dangkal"


Ajaran Islam yang mudah dicerna, masuk akal dan rasional, agaknya pas jika diberikan pada mereka yang masih awam pada Islam, atau tepatnya para muallaf. Namun, cukup disitukah kita akan berhenti memahami Islam? Untuk seseorang yang memang sudah benar-benar berhati Islam, sudah sepatutnya menapaki tahap yang lebih mendalam lagi, tahap untuk memasuki dimensi yang tak bertepi dimana akal sudah tak mampu menjangkau lagi.

Mungkin banyak orang diantara kita sepakat bahkan mati-matian membela pendapat mereka yang tak lebih dari sekedar generalisasi yang terburu-buru, yang punya akar historis dan implikasi ke depan yang panjang. It’s ok..Tapi untuk mengatakan bahwa semua ajaran Islam adalah ajaran yang rasional, tunggu dulu.

Medan (dimensi) akal adalah otak. Sedangkan dalam Islam bukan hanya menyantuni akal pikiran atau otak, melainkan hal yang lebih penting lagi yaitu “hati” (batin/qalbu). Justru inilah yang sebenarnya merupakan esensi dan misi Islam, menyantuni dan mengisi kekayaan hati (ruhani) yang tak bertepi, tak beralas, dan tak berlangit. Sebagian orang bisa saja merasionalisasikan atau mengakal-akali puasa dengan mengatakan bahwa “puasa akan membuat kita menjadi sehat” (ini hanya sekedar contoh) padahal sejatinya puasa akan (mudah-mudahan) membuat kita lebih bertakwa, lantas apakah itu takwa? Hal inilah yang hanya bisa dipahami dan dihayati secara batiniah, takwa tak bisa dirumuskan persis oleh rasio (akal). Sedangkan berbicara soal ruhaniah (batin), kita sudah masuk dalam dimensi dimana akal tak selalu bisa, bahkan (sering) tak pernah bisa menjangkaunya (mengintervensinya). Jangkauan rasio (akal) terhadap medan ruhaniah (hati) hanyalah akan mengakibatkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran agama, ajaran agama diperas agar masuk akal. Jika kita terus berpegang pada hal yang demikian dan tak mau lagi mengembara ke dalam hal-hal yang lebih jauh lagi, maka ajaran agama praktis akan menjadi sebuah ajaran yang dangkal. Akibat yang lebih parah lagi adalah pendangkalan spiritual agama, ia menjadi kering dan aus.

Akal memang telah menghasilkan sains. Menurut pengalaman di jaman modern ini membuktikan bahwa rasio dan sains memang membawa manusia kearah hidup yang lebih comfortable. Tapi apakah keduanya berhasil membuat hidup lebih bermakna? Tak perlu argumentasi yang panjang untuk menjawab pertanyaan ini, cukup dengan menunjukkn fenomena kebangkitan agama di Barat dan Timur, yang disebabkan oleh gelombang kekuatan dari para pencari makna kehidupan, what’s the meaning of live.

Lantas apakah yang dicari orang-orang barat di dalam Islam? Banyak intelektual barat yang beralih agama ke Islam justru tertarik dengan kekayaan ruhaniah Islam, terutama tasawuf. Dan apakah tasawuf dapat dirasionalkan? Jawaban mereka “Absolutely not, and it’s not necessary”. Walhasil, sufisme dan tarekat-tarekat tumbuh subur termasuk di belantara beton Manhattan, lengkap dengan “sufi book store”.

Singkatnya, argumentasi bahwa Islam adalah ajaran yang rasional merupakan upaya yang bertolak dari suatu kesadaran atau sedikitnya berada diambang kesadaran untuk melakukan konfirmasi, kecocokan dengan dunia barat yang serba rasional. Banyak tokoh-tokoh sanjungan agama (yang diklaim sebagai modernis) ini gagal memberikan jawaban yang tuntas terhadap nestapa kaum muslimin.

Singkatnya lagi, slogan yang lebih mengena kepada diri seorang yang Islam adalah “kembali pada kekayaan hati (batin Islam)”. Ini (setidak-tidaknya) bisa diawali dan dilakukan tanpa harus mengesampingkan penggunaan akal, namun jika kita tetap berdiri pada rasionalitas (lebih tepatnya berhenti pada apa yang hanya mampu tertangkap oleh akal), maka keyakinan kita tak akan punya masa depan. Jika Islam ingin berperan lebih positif ditengah hingar bingar modernisasi, itu justru disebabkan oleh warisan spiritualnya, yang tidak lain adalah pengembaraan “hati”.

1 comment: